Kevin Alfirdaus Arief
5 min readDec 19, 2022

Pria Malang yang menunggu

Source : @denjunas at Pamafest 13

“Jarum Jam berjalan mengantar rahasia yang tersembunyi di balik bunyi detik

Berapa kali kita bisa melihat Fajar?” – Remy Sylado : Di jam-jam yang berjalan

Isnur terus saja menggengam Harian Koran yang ia beli pada pedagang cilik yang berkeliling di trotoar jalan. “Temannya berkata, kau tidak ingin pulang?” lelaki itu memberi penolakan lewat wajah yang tak bersemangat. Ia mungkin akan tinggal. “Remy Sylado telah meninggal hari ini,” pungkas Isnur membuat temannya perlahan menghilang pergi. Tak ada lagi puisi Mbeling, tak ada lagi hak asasi kawan. Ia sempat kesal dengan puisi yang hanya beberapa kalimat saja. Selain itu juga, tidak ada hal yang membuatnya bergairah melihat puisi-puisi dari seorang legenda yang katanya serba bisa itu – karena mungkin Isnur adalah Lelaki yang serius dan kaku. Ia tak pernah main-main untuk membuat Puisi atau sekedar melatih tulisannya menjadi bahan percobaan. Hari ini, jalan utama teramat cantik. Banyak gemerlap kuning yang berhasil menggantikan senja di langit kota. Semua hal tengah berubah, entah mau bersedih ataupun bergembira, lelaki adalah manusia yang tak pandai menyembunyikan kebohongan. Ia mungkin sedang menangis sejadi-jadinya didalam batin.

Heinrich Fuhrer telihat memandangi Isnur dan sedikit gelisah melihat seorang lelaki yang duduk-duduk di trotoar dari jam lima sore hingga Fajar terbenam. Kendati begitu, ia tidak langsung menodongkan pertanyaan sebelum memastikan selama dua minggu — untuk memastikan seberapa kuat seorang lelaki melakukan kegiatan rutin yang aneh setiap harinya. Setelah dua minggu berlalu, ia telah menyaksikan keteguhan Isnur dalam membaca koran setiap hari pukul 5 sore. Kadang-kadang Isnur juga membakar rokok hingga nikotin benar-benar bersemayam diparu-parunya. Sepertinya sore hari adalah waktu yang paling senggang bagi lelaki yang kadang kala membaca buku itu. Setelah menimbang banyak, Heinrich mengakak berkenalan duluan dengan menggunakan bahasa Indonesia. Heinrich adalah mahasiswa pascasarjana yang hendak meneliti bekas-bekas peristiwa politik di kota Malang. Isnur mengerti, jika pria yang hendak berbicara dengannya adalah orang terdidik – terlihat dari pakaianya yang rapih; menggambarkan orang Eropa yang dermawan.

Heinrich bertanya kepada lelaki itu, sementara Isnur hanya membalas jawaban sepele tentang alasan membangun kebiasaan hari untuk menulis buku. Pria Jerman itu langsung mengerti, tidak banyak orang Indonesia yang meniru kebiasaan orang-orang Eropa dalam membuat karya seni.

Mereka berdua kian akrab. Isnur kian menguraikan segala cerita yang ingin ia sampaikan padanya. Lalu suatu ketika, Heinrich dibuat terkesima dengan satu cerita dari Isnur.

Dia bangun jam lima pagi. Setidaknya pada 1970, Pria itu menunggu Koran yang kerap mengalami perubahan jenis berita akibat situasi politik yang berubah-ubah. Ia telah menerima pelayanan terbaik dari keluarganya, untuk tidak melewatkan setengah jam bangun tidurnya pada pukul lima pagi. Setelah jam tujuh, ia berangkat bekerja hingga jam sebelas pagi. Setelah selesai, ia menyiapkan makan siang dan menghabiskan sore bersama temannya yang mempunyai nama pena Green Winter.

“Apa yang ingin anda sampaikan? Ini jam kerja hidup yang biasa-biasa saja di Jerman,” terang Heinrich pada Isnur yang sedari tadi mengulang-ulang ceritanya.

“Sebentar… sebelum menceritakan pesan apa, saya akan menceritakan warisan dari tokoh di Negara mu yang membuat bagian cerita ini makin mempesona,” ungkap Isnur sambil membakar api di ujung rokoknya

“Hitler Fasis itu maksud anda? Itu sudah kami kubur dan kita lupakan” potong Heinrich

Heinrich tahu maksud Isnur. Meski Jerman tidak mengkolonialisasi Indonesia, namun sejarah yang memiliki dampak di lintas generasi membuat Pria itu sadar jika suatu efek dari perang memiliki kerugian yang menggangu suatu percakapan pada orang yang baru dikenalinya.

“Bagimu penantian itu apa?” tanya Isnur.

“Aku tidak tahu. Aku tidak pernah berpikir menikah meski umur ku 32 tahun”

Lalu Isnur melanjut tanpa menanggapi pertanyaan sebelumnya dari Pria Jerman itu. Bus itu berhenti di taman kota dekat dengan trotoar yang ia singgahi pukul lima sore. Saat itulah tepatnya 52 tahun yang lalu, ia memulai penantian pertamanya dan tidak ada yang berubah dari penantian itu. Wajahnya masih bersemangat, karena mungkin kesetiaan yang diyakini Pria Malang itu teramat kuat. Mungkin saja, cinta yang dipisahkan oleh peristiwa politik lebih dalam ketimbang sepasang kekasih yang dipisahkan karena orang ketiga. Orang yang punya kesamaan pandangan hidup takan terpisah oleh waktu dan ancaman, meski takdir kerap menjawab kenyataan yang lain.

“Saya melihat ini, dan dua minggu yang lalu koleksi koran saya bertambah”

Tertulis; KORAN UTAMA – KEMATIAN SASTRAWAN DAN SENIMAN SERBA BISA REMY SYLADO.

Heirich tidak mengerti apa yang dimaksud oleh Isnur. Belum lagi, usia koran-koran sebelumnya sudah terlipat-lipat di sebuah kliping panjang. Setelah Pria Jerman itu melihat apa yang dibawa oleh Isnur, ia menjadi sangat marah tanpa tahu sebab mengapa. “TRAGEDI KANJURUHAN DAN JALAN PANJANG MENANTI KEADILAN”, “SI JAGO MERAH MELAHAP SEKOLAH DASAR”, “SISWA SEKOLAH DASAR DICABULI OLEH GURUNYA”, dan “PRIA MALANG YANG MENUNGGU KEKASIHNYA”.

Semua headline koran itu telah Heirich baca hingga akhir. Pria itu berpikir jika koran-koran ini tidak ada kaitannya dengan penantian Isnur yang selalu mengisi waktu sore setiap hari. Barangkali Heirinch saja yang terlau banyak berasumsi. Paling tidak, saat ini Heinrich punya alasan yang kerap menunggu malam hari di trotoar kota.

Saat Pria itu hendak pamit pergi, Isnur berkata jika ceritanya belum selesai. Dengan sorot wajah seolah habis ditipu habis-habisan, Heirinch berkata jika semua yang ia lakukan hanya bualan yang tidak berguna.

“Perempuan itu sudah mati! Ya, sebuah judul terakhir yang telah anda baca. Aku tidak pernah berpikir jika pada akhirnya Penantian Lelaki Malang itu tengah berakhir. Mungkin saja, serpihan sajak Sylvia Plath benar adanya; ‘kita harus bertemu di kehidupan lain, kita harus bertemu di udara’. Pria itu mati 4 tahun lalu. Menjemput akhir dari penantiannya selama lebih dari 50 tahun”

Pria Jerman itu terdiam. Setelah Isnur mengungkap apa yang selama ini menjadi beban rahasia yang dipikul olehnya, mukanya terlihat berseri meski air matanya jatuh melintasi pipinya. Dari kejauhan terdengar bunyi suara gitar akustik dan seseorang yang menyanyikan lagu Blowing in The Wind.

Pada momen-momen seperti ini, bulan makin bersinar terang dan gemuruh angin mendesir — tanda turun hujan. Heinrich yang mendengar itu segera mengemasi barang-barangnya. Termasuk kamera dan juga beberapa catatan Jurnal A4 yang penuh dengan coretan revisi bolpoin warna merah. Namun ia justru tersenyum, entah apa yang ia pikirkan, sebetulnya Pria itu sangat menikmati ceritanya. Dengan tenang, ia mengingat-ingat lagi gambaran cerita dalam koran terakhir itu. “Pria malang yang menunggu kekasihnya, ya?” gerutu nya dalam hati.

Mulai rintik, majalah-majalah di dalam tas telah digenggam untuk dijadikan alas berlindung. Hingga Isnur sadar, jika mereka berdua telah melanggar perjanjian kerja untuk menunggu. Isnur yang mengetahui hal itu, segera pulang dan menyerah tanpa menjelaskan apa maksudnya semua ini. Saat Heinrich mengemis akan cerita barunya yang belum usai, Isnur tidak peduli dan segera mengemasi barang-barangnya, termasuk catatan dan beberapa ponsel miliknya.

Konon, malam bisa mengubah pendirian seseorang. Dengan wajah seolah habis ditipu habis-habisan oleh dirinya sendiri, Isnur meninggalkan semua keliping koran hasil pengarsipannya kepada Heinrich.

Isnur berkata “jika sudah sampai disini saja — saya cukupkan" Hatinya seperti batu. Ia telah berpikir untuk berhenti dua minggu yang lalu.

Heirich ditinggali oleh pertaruhan yang berapi-api