bleu tout le temps

Kevin Alfirdaus Arief
5 min readMar 23, 2021

--

Di salah satu Unit Kegiatan Mahasiswa Penulis, dulu, saat aku masih aktif berkegiatan di dalamnya. Aku bersama kawan bergumam terkait pakaian. Awalnya aku mengabaikan karena bagiku hal itu tidak terlalu penting. Tetapi, tatapan mereka menyoroti ku yang sedang mengenakan kemeja + celana bahan + dan juga berbalut sepatu yang cocok.

Satu dari satu pertanyaan muncul, “Apa warna kesukaanmu?”

Saya menghiraukannya. Hingga pertanyaan lanjutan menggugah kemauan saya untuk menjawab.

“Kalo kamu, apa warna kesukaanmu? Apakah disituasi mencekam, pakaian seseorang itu membuat kita gak percaya diri?” pertanyaan itu langsung memecahkan keheningan.

“Biru. Karena tidak terlalu mencolok. Sangat pas untuk dikenakan dimanapun. Apalagi liputan di rektorat” jawab salah satu perempuan.

“Aku hijau. Gak tau suka aja” jawab satu perempuan lagi.

“Aku merah. Tapi di situasi tertentu, itu sangat lah tidak cocok karena berhawa sangat panas dan mencolok. Apalagi di tempat kerja yang penuh hawa dingin. Pasti kita harus memikirkan kembali supaya tidak menjadi sorotan mata yang kejam” jawab perempuan satunya.

“Kalau kamu pasti suka hitam mas, ya?” Tanya perempuan ketiga.

“Soal percaya diri ya? Aku lebih suka putih”

“Kenapa?”

“Kalau kebanyakan orang menganggap putih itu suci, kalian salah. Putih itu tidak berarti apa-apa. Tak punya arti apa-apa. Sama seperti penampilan”

Biru

Sebelumnya aku menyukai biru. Bahkan mungkin sampai sekarang. Aku menyukai Chelsea, bagiku, alasan aku menyukainya saat kecil hanya karena Chelsea berdominan warna biru. Aku menemukan warna biru dilautan saat aku memulas menggunakan krayon di Taman Kanan sekolahku dulu. Gambaran ku semua jelek, kecuali warna biru.

Saat aku dirumah, aku selalu meminta Ayah untuk memutarkan lagu Guns n Roses yang berjudul November Rain sebagai koleksi CD miliknya. Video clip nya dominan dengan cahaya kelabu. Tidak peduli apa isi dari lagunya, aku hanya seorang anak kecil yang menunggu lumba-lumba muncul beserta Slash yang memainkan gitar diatasnya. Saya bagai menggambar sendiri detik-detik pertemuan mereka dalam pikiran saya. Bagaimana mereka berinteraksi, dan apa yang akan dilakukan oleh Lumba-lumba di tengah samudera yang sangat luas.

Bagaimana kamu mengidentifikasi warna? Saat langit tanpa kilau cahaya, di pantai lepas bahkan diatas sebuah samudera. Warna biru. Lalu, bagaimana warna biru mulai diterima sebagai karya seni dan juga ilmu? Bagaimana ada warna biru di baju kita?

Nenek moyang kita tak sadar jika biru adalah termasuk jenis warna.

Itu dikaji pada 1858 oleh William Gladstone. Ia mengkaji tesis yang ditulis oleh Homeros berjudul Odisseia — buku yang tercatat sebagai 100 buku yang membentuk dunia. Tujuan Gladstone adalah menemukan presepsi warna dari sejarah ke sejarah lewat buku itu.

Pengarang kenamaan yang bernama Homeros ini menuliskan syair-syair dan yang paling terkenal, tentu Odisseia menjadi yang paling favorit bagi perkembangan kesusastraan dunia. Buku itu menceritakan kisah dalam mitologi Yunani kuno yang bernama sama, Odisseia, yang hendak melakukan perjalanan pulang menggunakan kapal layarnya. Akibat kemarahan para dewa, ia lalu dihukum melakukan eperjalanan selama 10 tahun. Dari perjalanan itu, sepenggal cerita yang di yakini hingga sekarang telah membentuk dunia dari karya Homeros.

Yang menarik dari tesis William Gladstone, dalam karya seni sejarah yang terkenal berjudul Odisseia itu, segala aspek yang ditelitinya, tidak menggunakan warna biru. Gladstone terobsesi betul dalam mengkaji persepsi warna di masa ilmu baru berkembang. Biru benar-benar tidak ada. Homeros bahkan menulis samudra berwarna merah.

a book from “Odisseia”
a book “Odisseia”

Besi dan domba berwarna ungu, sementara madu berwarna hijau. Segala hal yang ada dibumi waktu itu dilukis dengan warna monokrom. Dalam buku itu, total ada paduan warna hitam 200 kali, putih 100 kali. Sementara merah, kuning hijau, kurang dari 15 kali.

Gladstone memandang cara yunani kuno dalam menangkap warna dengan rona monokrom. Ketertarikan Gladstone mencari sejarah adanya warna biru adalah hal yang khas bagi orang yunani kuno. Beberapa murid setelah Homeros bahkan tidak menemukan warna biru.

Hikayat islandia kuno, tiongkok, arab dan hindu semuanya menghindari kata biru. Bahkan saat membicarakan langit.

Ternyata orang pertama yang membicarakan biru adalah peradaban mesir.

foto : sisi terang (youtube)

Dahulu, mungkin sebuah warna tampak begitu dingin. Semua hitam dan putih meski apapun yang bercahaya itu tampak berkilau dan melahirkan warna yang lain. Warna yang tidak pernah tau penyebutannya. Bumi kita didominasi dengan warna hijau, kuning, coklat, hitam gelap dan juga putih terang. Melambangkan dedaunan dan tumbuh-tumbuhan, langit dan cahaya, batang-batang dan tunas, tanah, hingga gelapnya malam.

Semua penciptaan / penyebutan warna adalah buatan manusia. Sebelum menjadi seperti sekarang, dimana warna hampir ada dimanapun. Menghiasai warna bajumu, bangunan-bangunan tembok, lukisan di kanvas, hingga color grading desain visual yang kamu kerjakan sekarang, Za.

Di zaman dahulu, tidak ada yang berpikir bisa membuat sesuatu hingga seperti ini. Semua hanya menikmati dan bertahan hidup dari mencari makan dan berteduh saat cuaca tak menentu di dalam goa. Mungkin semua yang dilihat itu bagai monokrom. Seperti daging berjalan, sumber pengairan, yang hanya hitam putih. Bila mana ada sebuah yang menarik minat orang zaman dahulu, itulah warna yang berbeda. Siapapun akan memburunya, tidak peduli apa warna nya.

Saat Homeros menggambarkan samudera dan lautan berwarna merah, saya menjadi mengerti. Sebelum lahirnya presepsi kita tentang warna, dahulu warna lautan di identikan berdasarkan pantulan cahaya matahari. Tidak ada yang tau persis warna air itu apa. Sama seperti saat kita menggenggam air laut di dasar pantai. Semua warna putih bening. Saat langit menunjukan bulan, pantai berubah menjadi gelap, saat matahari menyinari dengan berkilauan, warna pantai menjadi oranye.

Tetapi, bersyukurlah kita telah menghargai macam-macam bentuk warna yang ada di bumi ini. Layaknya kamar yang dipenuhi oleh poster-poster, hidup semakin beragam akibat kita mendapatkan sesuatu tergantung warna apa yang akan kita pilih hari ini. Hidup berwarna, pemikiran berwarna, dan situasi apapun yang melambangkan keragaman warna, telah menuntun kita untuk mencapai apa yang kita mau. Kalau kata teman, “Jangan berikan apapun kepada orang yang buta warna”.

Yap, saya sepakat. Tetapi sekarang yang ada di dalam pikiran ku hanya hitam dan putih. Kekosongan sering kali menjadi teman.

Dahulu memang saya sangat suka warna biru, pun sampai sekarang. Tapi bagaimanapun saya malah memilih putih. Dalam hal apapun. Karena bagi saya sekarang, semua tidak berarti apa-apa. Sama seperti celoteh saya ini.

--

--